Senin, 19 Maret 2012

Peradilan Agama


Pengadilan Agama dibentuk dan berdiri secara kelembagaan berdasar Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 19 Januari 1882, yang tercantum dalam Staateblad (Undang-undang) No 152 tahun 1882. Inilah merupakan awal mula Peradilan Agama di Indonesia kokoh berdiri dan di tegakkan.
Kedudukan Pengadilan Agama semakin kuat setelah amandemen Undang Undang Dasar Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 24 ayat (2) yang berbunyi :
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Kewenangan Pengadilan Agama secara berangsung angsur bertambah dengan  berkembangnya kehidupan bermasyarakat yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain:
1.      Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957;
2.      Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974; (tentang perkawinan)
3.      Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989; (tentang Peradilan Agama)
4.      Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006; (Amandemen UU No 7 Tahun 1989)
5.      Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009; (Amandemen kedua UU No 7, 1989)
6.      Dan instruksi presiden (Inpres) No 1 Tahun 1991 tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama.
Hakim adalah seluruh Hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua tingkatan peradilan. Yang harus ;
1.      Berperilaku Adil.
2.      Berperilaku Jujur.
3.      Berperilaku Arif dan Bijaksana.
4.      Bersikap Mandiri
5.      Berintegritas Tinggi
6.      Bertanggungjawab.
7.      Menjunjung Tinggi Harga Diri.
8.      Berdisiplin Tinggi
9.      Berperilaku Rendah Hati
10.  Bersikap Profesional
Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Pegawai Pengadilan adalah seluruh pegawai yang bekerja di badan-badan peradilan.
Pihak Berwenang adalah pemangku jabatan atau tugas yang bertanggung jawab melakukan proses dan penindakan atas pelanggaran
Penuntut adalah Penuntut Umum dan Oditur Militer.
Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada kantor urusan agama.
Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti pada pengadilan agama.
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
Tugas dan Fungsi Peradilan Agama
Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugas pokoknya berdasarkan ketentuan Pasal 2  jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3  Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50  Tahun 2009 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam, serta wakaf, zakat, infaq dan shodaqah serta ekonomi syari’ah.
Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama mempunyai fungsi,  antara lain sebagai berikut :
  1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49  UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 jo. UU Nomor 50 Tahun 2009).
  2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan  pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
  3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti  di bawah jajarannya agar  peradilan diselenggarakan dengan seksama  dan sewajarnya (vide : Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
  4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).
  5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/ perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
Kompetensi Peradilan Agama
Kompetensi Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ada dua, yakni : kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama dalam hal perkara apa saja yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk diterima, diperiksa, diadili dan diselesaikan. Hal ini tercantum dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah, e. wakaf; f. zakat[1]; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah. Hal ini merupakan bentuk perubahan terhadap UU No 7 Tahun 1989, dan disempurnakan dengan UU No 50 Tahun 2009. Sedangkan kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah berkaitan dengan tempat kedudukan dan wilayah atau daerah hukum yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara. Hal ini termuat dalam pasal 4 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
(1)   Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
(2)   Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
Yang  dimaksud  dengan  "Perkawinan"  adalah  hal -hal  yang  diatur   dalam atau   berdasarkan   undang-undang   mengenai   perkawinan   yang   berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
  1. Izin beristri lebih dari seorang;
  2. Izin  melangsungkan  perkawinan  bagi  orang  yang belum  berusia  21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali,  atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
  3. Dispensasi kawin;
  4. Pencegahan perkawinan;
  5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
  6. Pembatalan perkawinan;
  7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
  8. Perceraian karena talak;
  9. Gugatan perceraian;
  10. Penyelesaian harta bersama;
  11. Penguasaan anak-anak;
  12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak  bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
  13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
  14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
  15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
  16. Pencabutan kekuasaan wali;
  17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
  18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
  19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
  20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam;
  21. Putusan     tentang     hal     penolakan    pemberian    keterangan    untuk melakukan perkawinan campuran;
  22. Pernyataan  tentang  sahnya  perkawinan  yang  terjadi  sebelum  Undang- Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan   dan  dijalankan menurut peraturan yang lain.
Yang  dimaksud dengan "Waris" adalah penentuan siapa yang  menjadi ahli waris, penentuan  mengenai  harta  peninggalan,  penentuan  bagian masing- masing   ahli  waris,   dan    melaksanakan   pembagian   harta   peninggalap tersebut,  serta  penetapan  pengadilan  atas  permohonan  seseorang  tentang penentuan   siapa   yang   menjadi   ahli   waris,   penentuan   bagian   masing- masing ahli waris.
Yang  dimaksud  dengan  "Wasiat"  adalah  perbuatan  seseorang  memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau  lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Yang  dimaksud  dengan  "Hibah"  adalah  pemberian suatu  benda   secara sukarela  dan  tanpa  imbalan  dari  seseorang  atau  badan   hukum  kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Yang    dimaksud   dengan    "Wakaf'    adalah   perbuatan    seseorang   atau sekelompok   orang   (wakif)   untuk   memisahkan   dan/atau    menyerahkan sebagian  harts  benda miliknya untuk  dimanfaatkan  selamanya  atau  untuk jangka   waktu   tertentu   sesuai   dengan   kepentingannya   guna   keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Yang  dimaksud  dengan  "Zakat"  adalah  harta  yang  wajib   disisihkan   oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki  oleh  orang muslim sesuai dengan        ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada  yang berhak menerimanya.
Yang  dimaksud  dengan  "Infaq"  adalah  perbuatan  seseorang   memberikan sesuatu   kepada   orang   lain   guna   menutupi    kebutuhan,   baik   berupa makanan,   minuman,   mendermakan,   memberikan   rezeki   (karunia),   atau menafkahkan  sesuatu  kepada   orang  lain  berdasarkan  rasa  ikhlas,  dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Yang     dimaksud    dengan    "Shadakah"    adalah     perbuatan    seseorang memberikan   sesuatu   kepada   orang   lain   atau   lembaga / badan   hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi  oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Yang dimaksud dengan "Ekonomi Syari'ah" adalah perbuatan atau  kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
1.      Bank syari'ah;
2.      Lembaga keuangan mikro syari'ah.
3.      Asuransi syari'ah;
4.      Reasuransi syari'ah;
5.      Reksa dana syari'ah;
6.      Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
7.      Sekuritas syari'ah;
8.      Pembiayaan syari'ah;
9.      Pegadaian syari'ah;
10.  Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
11.  Bisnis syari'ah.
Tahapan – tahapan dalam Persidangan Pengadilan Agama
a.       Sebelum perisdangan dibuka pada biasanya diawali dengan pembacaan al Fatihah
b.      Ketua Majelis Membuka Sidang
c.       Majelis menanyakan Identitas Para Pihak
d.      Upaya Pendamaian
e.       Tahap mediasi oleh mediator
f.        Pembacaan Surat Gugatan
g.       Jawaban tergugat atas gugatan penggugat
h.       Replik
i.         Duplik
j.        Pembuktian
k.      Kesimpulan pihak-pihak
l.         Musyawarah majelis
m.     Putusan majelis
n.       Upaya hukum
o.      Eksekusi
Keterangan
Dalam Pengadilan Agama, putusan di lakukan berdasarkan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa juga di mulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrohim” dan diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tahapan dalam putusan hakim adalah menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkannya dalam amar putusan. Putusan hakim ini untuk mengakhiri sengketa yang berlangsung. Produk hukum dari hasil pemeriksaan ada tiga macam :
1)        Putusan, ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari perkara kontentius.
2)        Penetapan, ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara voluntaire.
3)        Akta Perdamaian, ialah akta yang dibuat oleh hakim dari musyawarah  antar pihak dalam sengketa kebendaan sebagai putusan.
Dilihat dari fungsinya putusan hakim dibagi menjadi dua yaitu putusan sela dan putusan akhir. Sedangkan dilihat dari hadirnya para pihak ada tiga macam putusan :
1)        Gugur, ialah putusan yang dikarenakan karena pihak penggugat atau kuasanya tidak datang menghadap padahal ia telah dipanggil secara resmi dan patut.
2)        Verstek, ialah suatu putusan yang dijatuhkan karena pihak tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan meskipun ia telah dipanggil secara resmi dan patut.
3)        Contradictoir, ialah putusan terhadap perkara dimana pihak tergugat pernah hadir dipersidangan sampai dengan putusan.
Susunan dan isi putusan yaitu :
1)             Bagian Kepala Putusan
2)             Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara.
3)             Identitas para pihak
4)             Duduk perkaranya (bagian Posita)
5)             Dasar Hukum
6)             Diktum (amar putusan)
7)             Bagian kaki putusan
8)             Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya
b.      Upaya hukum
Upaya hukum ialah salah satu sarana yang menjadi hak bagi para pihak berperkara untuk melawan putusan hakim bagi mereka yang belum puas terhadap putusan tersebut. Upaya hukum ini dapat ditempuh melalui cara yaitu upaya hukum biasa meliputi verzet, banding, kasasi serta upaya hukum luar biasa yang meliputi PK (Peninjauan Kembali).
c.        Eksekusi (Pelaksanaan Putusan)
Tujuan diajukannya perkara ialah agar segala hak-hak dari salah satu pihak dapat dipulihkan melalui putusan hakim dimana hal ini tercapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan melalui beberapa cara :
1)        Sukarela dimana pihak terkalahkan (terhukum) mau melaksanakan semua isi putusan atas kehendaknya sendiri.
2)        Dengan cara paksa menggunakan alat negara apabila pihak yang terkalahkan (terhukum) tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela.
Putusan dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.


[1] Pengelolahan Zakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar