Minggu, 11 Maret 2012

Perspektif Islam terhadap Otoritas Nafkah Keluarga dibawah Tangan Istri*


Perkawinan merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi hasrat biologis secara sah dan bertanggung jawab. Sehingga dalam sebuah ikatan ini terdapat relasi atau hubungan keselarasan dan kasih sayang yang saling melengkapi demi meneruskan jalan cerita hidup manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. “dan kami jadikan manusia dimuka bumi ini sebagai khalifah”, yaitu sebagai orang yang bertanggung jawab pada kelestarian peradapan manusia.
Dalam sumber hukum islam banyak ditemukan batasan-batasan kemaslahatan demi tercapainya keselarasan pada sebuah ikatan_perkawinan_. Hal ini ditegaskan untuk membentuk sebuah relasi dalam keluarga yang Mawaddah Warahmah. Dan yang sesuai dengan fitrah manusia. Tentunya suami-istri adalah pemeran  dalam ikatan rumah tangga (keluarga).  Jadi bagaimana persoalan dan kebutuhan dapat terselesaikan dan terpenuhi sesuai dengan hak dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab bersama.
Dengan adanya ketentuan yang moderat, hak dan kewajiban akan terpenuhi sesuai dengan kemampuan dan fitrah manusia. Sehingga dengan demikian akan terbentuk adanya rasa keadilan, (meskipun pada hakikatnya adil tidak harus sama) dan terbentuknya keseimbangan antara satu dan yang lain dalam keluarga. Pada sisi lain, seorang anak yang menyertainya berhak mendapat jaminan berupa perlindungan, perhatian dan kasih sayang dari kedua ayah-ibunya. Jika hal ini terpenuhi akan dapat menumbuhkan kepribadian yang mereka harapkan pada umumnya. Tentunya untuk mewujudkan tujuan dalam rumah tangga diperlukan adanya kebersamaan, saling bertanggung jawab dan pemenuhan hak-hak serta kewajiban diantara mereka (suami-istri).
Al-Qur’an menyebutkan bahwasanya laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita karena kelebihan yang mereka miliki dan pemenuhan nafkah bagi para istri dari sebagian hartanya. Namun pada sebagian kenyataan yang ada, justru berlaku sebaliknya. Maksudnya seorang istrilah yang mempunyai otoritas dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Karena berbagai alasan yang melingkupinya.
Terlepas dari alasan yang ia (istri) kemukakan, tentu ia pada akhirnya akan mempunyai kesibukan super ganda. Disamping mengurus suami dan anak-anaknya, ia juga harus mencari nafkah yang semestinya menjadi beban kewajiban dan tanggung jawab suami.
Dalam hal ini agama menanggapi bukanlah masalah jika seorang istri bekerja untuk membantu, meringankan beban ataupun tanggung jawab yang berada dibawah tangan suami. Al-Qur’an dalam hal ini justru mambenarkan jikalau suami-istri bekerja untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera, lebih baik dan yang terpenting sesuai dengan etika dan norma-norma agama. Kami kira “bekerja merupakan suatu ibadah dan setiap profesi yang kita emban adalah sebuah amanah serta merupakan sebuah amal shaleh jikalau kita jadikan sebuah sarana pemenuhan setiap kebutuhan hidup untuk mengabdikan diri kita (hamba) kepada Allah SWT.”.
Tentu dari semua yang berada dipundak kita pada akhirnya akan dipertanggung jawabkan bersama dihadapan Ilahi Rabbi QS. An_Nahl [16]: 97,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(QS. An_Nahl [16]:97)
Namun pada permasalahannya, seorang istrilah yang hanya memenuhi kebutuhan keluarga. Segenap jiwa dan raganya diperuntukkan pada kemaslahatan sang keluarga. Lebih ironisnya hal ini tidak terjadi pada suami. Ia (suami) hanya menelan waktu luangnya dengan begitu saja tanpa adanya rasa dan upaya untuk menghilangkan beban seorang istri. Padahal sesuai kodrat dan ftrah manusia, laki-lakilah yang berkewajiban memenuhi ataupun bertanggung jawab atas kebutuhan yang berkenaan dengan ekonomi keluarga. Dengan demikian kenyataan yang ada justru tidak sesuai dengan fitrah manusia dan apa-apa yang menjadi ajaran syari’at islam. Seperti yang digariskan dalam firman Allah SWT. Yang menyatakan;
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.(QS. An_Nisa’ [4]:34)
أَمْوَالِهِمْ مِنْ أَنْفَقُوا وَبِمَا بَعْضٍ عَلَى بَعْضَهُمْ اللَّهُ فَضَّلَ بِمَا النِّسَاءِ عَلَى قَوَّامُونَ الرِّجَالُ
Sesuai ayat yang dikemukakan, sudah Nampak jelas bahwasanya kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum perempuan dengan berbagai kelebihan yang mereka miliki. Namun tidak sebatas itu (hubungan suami istri), setiap manusia yang memegang kuasa atas orang lain, maka iapun berkewajiban untuk memenuhi dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan manusia yang berada dibawah otoritasnya. Dan yang terpenting tiap individu dalam sebuah relasi tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, setiap yang menjadi kebutuhan pokok dalam keluarga dibebankan kepada suami (pemimpin). Dalam hal ini kewajiban suami tentunya memberikan yang terbaik bagi istri dan keluarganya, sejauh yang ia (suami) miliki dan diusahakannya. Namun jika hal itu diabaikan, sedangkan ia mampu, maka seorang istri berhak menuntutnya atau mengambil haknya meskipun tanpa seizin suaminya. Dan jikalau ia tidak berharta maka sang istri berhak menahan suaminya melalui proses hukum negara. Karena dalam hal ini, suami merupakan kategori orang yang dhalim. Tentunya kelak akan dimintai pertanggung jawabannya sebagai pemimpin dihadirat Allah SWT. Seiring dengan Sabda Rasulullah SAW dalam shahih Bukhari-Muslim (Al-Bukhari, ash-Shahih, no. hadis 853, hlm 304, Muslim, ash-Shahih, juz III, no. hadis 1829, hal. 1459) menyatakan ;
Warrijaalu raain fi ahlihi wahuwa mas’ulun ‘an raiyatihi
“Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Dalam relasi seksualpun, seorang suami tidak dapat memaksakan kebutuhan biologis (seks) terhadap istrinya. Dan bisa jadi akses dan relasi seksualnya menjadi putus. Konsekuensi inilah yang harus ditanggung suami bila mana ia tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Dengan demikian, hak suami yang awalnya merupakan kewajiban istri menjadi hilang secara Automaticly. Konsekuensi ini sangatlah logis dan legitimet, karena otoritas istri ada pada relasi seksnya, yang ketika tidak terpenuhi apa yang menjadi hak istri maka iapun berhak menghilangkan terhadap hak suami.
Bagaimanapun keadaannya, nafkah merupakan tanggung jawab seorang laki-laki terhadap perempuan (istri). Karena ia merupakan “tawanan” bagi seorang suami. Dalam pandangan lain, kewajiban suami menafkahi istri karena adanya hubungan pernikahan. Sehingga apa yang menjadi tujuan dalam keluarga dapat tercapai dan dirasakan secara seimbang, tentunya para pemeran dalam keluarga (dalam hal ini suami dan istr) haruslah saling memenuhi dan tanggung jawab sesuai dengan hak dan keawajiban masing-masing.

Hal ini akan tampak berbeda jikalau sorang suami tidak dapat memenuhi nafkah bagi istri ataupun keluarganya dengan alasan yang dibenarkan oleh syara’. Maka dalam hal ini, istrilah yang berhak menentukan sebuah keputusan sebagai pilihannya. Apakah ia bertahan hidup dangan suaminya dan bersabar menanggung resiko yang dibebankannya, ataukah mengajukan fasakh terhadap suaminya. Apapun keputusannya, itu merupakan kebijakan dari seorang istri yang harus diterima. Namun, tentunya keputusan yang pertama merupakan sebuah kebajikan yang tak ternilai, disamping ia menjaga kebutuhan rumah tangga ia (istri) pun bersedekah dengan memenuhi kebutuhan keluarga yang ditanggungnya. Dan dialah ‘mungkin’ wanita shalehah yang kelak akan melebihi para bidadari di surga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar