Pengadilan
Agama dibentuk dan berdiri secara kelembagaan berdasar Keputusan Kerajaan
Belanda tanggal 19 Januari 1882, yang tercantum dalam Staateblad (Undang-undang)
No 152 tahun 1882. Inilah merupakan awal mula Peradilan Agama di Indonesia
kokoh berdiri dan di tegakkan.
Kedudukan
Pengadilan Agama semakin kuat setelah amandemen Undang Undang Dasar Republik Indonesia
sebagaimana tertuang dalam pasal 24 ayat (2) yang berbunyi :
“Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Kewenangan
Pengadilan Agama secara berangsung angsur bertambah dengan berkembangnya
kehidupan bermasyarakat yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain:
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957;
2.
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974; (tentang
perkawinan)
3.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989; (tentang
Peradilan Agama)
4.
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006; (Amandemen UU
No 7 Tahun 1989)
5.
Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009; (Amandemen
kedua UU No 7, 1989)
6.
Dan instruksi presiden (Inpres) No 1 Tahun 1991
tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam
Peradilan
Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Pengadilan
adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan
agama.
Hakim
adalah seluruh Hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan
peradilan dan semua tingkatan peradilan. Yang harus ;
1. Berperilaku
Adil.
2. Berperilaku
Jujur.
3.
Berperilaku Arif dan Bijaksana.
4.
Bersikap Mandiri
5. Berintegritas
Tinggi
6. Bertanggungjawab.
7. Menjunjung
Tinggi Harga Diri.
8. Berdisiplin
Tinggi
9. Berperilaku
Rendah Hati
10. Bersikap
Profesional
Hakim ad
hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Pegawai
Pengadilan adalah seluruh pegawai yang bekerja di badan-badan peradilan.
Pihak
Berwenang adalah pemangku jabatan atau tugas yang bertanggung jawab melakukan
proses dan penindakan atas pelanggaran
Penuntut
adalah Penuntut Umum dan Oditur Militer.
Pegawai
Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada kantor urusan agama.
Juru
Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti
pada pengadilan agama.
Mahkamah
Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Komisi Yudisial
adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengadilan
Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur
dalam undang-undang.
Tugas
dan Fungsi Peradilan Agama
Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugas pokoknya berdasarkan ketentuan
Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum islam, serta wakaf, zakat, infaq dan shodaqah serta
ekonomi syari’ah.
Di
samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama mempunyai fungsi,
antara lain sebagai berikut :
- Fungsi mengadili (judicial
power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat
pertama (vide : Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun
2006 jo. UU Nomor 50 Tahun 2009).
- Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide : Pasal
53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
- Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya
agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya
(vide : Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006)
dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta
pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
- Fungsi nasehat, yakni
memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide : Pasal 52 ayat (1)
Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).
- Fungsi administratif, yakni
menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan
administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/ perlengakapan) (vide :
KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
Kompetensi
Peradilan Agama
Kompetensi
Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara
ada dua, yakni : kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut
berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama dalam hal perkara apa saja yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk diterima, diperiksa, diadili dan
diselesaikan. Hal ini tercantum dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang; a. perkawinan; b. waris; c. wasiat;
d. hibah, e. wakaf; f. zakat[1];
g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah. Hal ini merupakan bentuk
perubahan terhadap UU No 7 Tahun 1989, dan disempurnakan dengan UU No 50 Tahun
2009. Sedangkan kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah berkaitan dengan
tempat kedudukan dan wilayah atau daerah hukum yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara. Hal ini termuat dalam pasal 4 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
(1)
Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau
di ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
(2)
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota
provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
Yang dimaksud dengan "Perkawinan" adalah
hal -hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut
syari'ah, antara lain:
- Izin
beristri lebih dari seorang;
- Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali,
atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
- Dispensasi
kawin;
- Pencegahan
perkawinan;
- Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
- Pembatalan
perkawinan;
- Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
- Perceraian
karena talak;
- Gugatan
perceraian;
- Penyelesaian
harta bersama;
- Penguasaan
anak-anak;
- Ibu
dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
- Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
- Putusan
tentang sah tidaknya seorang anak;
- Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
- Pencabutan
kekuasaan wali;
- Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut;
- Penunjukan
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
- Pembebanan
kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
- Penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum islam;
- Putusan
tentang hal
penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
- Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi
sebelum Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.
Yang dimaksud dengan "Waris" adalah
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing- masing
ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalap tersebut, serta
penetapan pengadilan atas permohonan seseorang
tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing- masing ahli waris.
Yang dimaksud dengan "Wasiat" adalah
perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang
memberi tersebut meninggal dunia.
Yang dimaksud dengan "Hibah" adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan
tanpa imbalan dari seseorang atau
badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki.
Yang
dimaksud dengan "Wakaf'
adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari'ah.
Yang dimaksud
dengan "Zakat" adalah harta yang
wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
Yang dimaksud
dengan "Infaq" adalah perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain guna menutupi
kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki
(karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada
orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Yang
dimaksud dengan "Shadakah"
adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang
lain atau lembaga / badan hukum
secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu
dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Yang dimaksud dengan "Ekonomi Syari'ah" adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah,
antara lain meliputi:
1.
Bank syari'ah;
2.
Lembaga keuangan mikro syari'ah.
3.
Asuransi syari'ah;
4.
Reasuransi syari'ah;
5.
Reksa dana syari'ah;
6.
Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
7.
Sekuritas syari'ah;
8.
Pembiayaan syari'ah;
9.
Pegadaian syari'ah;
10. Dana
pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
11. Bisnis
syari'ah.
Tahapan – tahapan dalam
Persidangan Pengadilan Agama
a.
Sebelum perisdangan dibuka pada biasanya diawali
dengan pembacaan al Fatihah
b.
Ketua Majelis Membuka Sidang
c.
Majelis menanyakan Identitas Para Pihak
d.
Upaya Pendamaian
e.
Tahap mediasi oleh mediator
f.
Pembacaan Surat Gugatan
g.
Jawaban tergugat atas gugatan penggugat
h.
Replik
i.
Duplik
j.
Pembuktian
k.
Kesimpulan pihak-pihak
l.
Musyawarah majelis
m.
Putusan majelis
n.
Upaya hukum
o.
Eksekusi
Keterangan
Dalam Pengadilan Agama, putusan di lakukan berdasarkan
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa juga di mulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrohim”
dan diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tahapan dalam putusan hakim adalah menyampaikan segala pendapatnya tentang
perkara itu dan menyimpulkannya dalam amar putusan. Putusan hakim ini untuk
mengakhiri sengketa yang berlangsung. Produk hukum dari hasil pemeriksaan ada
tiga macam :
1)
Putusan, ialah pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum
sebagai hasil dari perkara kontentius.
2)
Penetapan, ialah pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka
untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara voluntaire.
3)
Akta Perdamaian, ialah akta yang dibuat oleh
hakim dari musyawarah antar pihak dalam
sengketa kebendaan sebagai putusan.
Dilihat dari fungsinya putusan hakim dibagi menjadi dua
yaitu putusan sela dan putusan akhir. Sedangkan dilihat dari hadirnya para
pihak ada tiga macam putusan :
1)
Gugur, ialah putusan yang dikarenakan karena
pihak penggugat atau kuasanya tidak datang menghadap padahal ia telah dipanggil
secara resmi dan patut.
2)
Verstek, ialah suatu putusan yang dijatuhkan
karena pihak tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan meskipun ia telah
dipanggil secara resmi dan patut.
3)
Contradictoir, ialah putusan terhadap perkara
dimana pihak tergugat pernah hadir dipersidangan sampai dengan putusan.
Susunan
dan isi putusan yaitu :
1)
Bagian Kepala Putusan
2)
Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis
perkara.
3)
Identitas para pihak
4)
Duduk perkaranya (bagian Posita)
5)
Dasar Hukum
6)
Diktum (amar putusan)
7)
Bagian kaki putusan
8)
Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian
biaya
b.
Upaya hukum
Upaya hukum ialah salah satu sarana yang menjadi hak bagi
para pihak berperkara untuk melawan putusan hakim bagi mereka yang belum puas
terhadap putusan tersebut. Upaya hukum ini dapat ditempuh melalui cara yaitu
upaya hukum biasa meliputi verzet, banding, kasasi serta upaya hukum luar biasa
yang meliputi PK (Peninjauan Kembali).
c.
Eksekusi (Pelaksanaan
Putusan)
Tujuan diajukannya perkara ialah agar segala hak-hak dari
salah satu pihak dapat dipulihkan melalui putusan hakim dimana hal ini tercapai
jika putusan hakim dapat dilaksanakan melalui beberapa cara :
1)
Sukarela dimana pihak terkalahkan (terhukum) mau
melaksanakan semua isi putusan atas kehendaknya sendiri.
2)
Dengan cara paksa menggunakan alat negara
apabila pihak yang terkalahkan (terhukum) tidak mau melaksanakan isi putusan
secara sukarela.
Putusan dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan
Ketua Pengadilan Agama.