Jikala
sudah menemukannya tak ada lain yang lebih berarti. Setiap kehidupan yang
dijalani, “kebaikanlah” menjadi tujuannya. Siapapun dia, mereka, tak akan luput
keinginan hasrat untuk mengitarinya. Setiap kali, setiap waktu, setiap kali ia
bersama waktu, selalu ingin menemukannya. Meski miliu terkadang tak bersahabat
dan bersama kita. Rintangan, hal – hal yang menghambat juga akan selalu ada,
adanya menjadi sebuah kepastian. Orang picik sekalipun bohong bila ia tak
menginginkannya. Bahkan sehina – hinanya mereka kebaikan menjadi tujuan
terakhirnya. Apa yang kita semua harap kalau ‘saat ini’ tak ada kebaikan yang
kita dapat. Lalu bagaimana dengan kita?, kebaikan bersama kita. Makin sejadi apapun
ia ingin selalu mendapatkan kebaikan, buat saat ini, esok, dan slama abadi di sana . Setidaknya meski
kebaikan ia akan dapatkan. Namun kemudharatan, kerusakan selalu menyertainya.
Maka ia menolaknya diutamakan. Karena dengan langkah demikian, senyatanya ia
mendatangkan kebaikan lebih besar. Menjadi tangan kanan dari dua jenis amar
sekaligus. Itulah suatu ‘kebaikan’ yang ia tinggalkan untuk mendapatkan suatu ‘kebaikan
yang lebih baik’.
Dan
saat inilah waktu yang ia dapat. Ketika hati ini benar – benar benar
menemukannya. Ia terus, terus tiada henti untuk menemukan dan mendapatkannya.
Tanpa lelah, resah, dengan keyakinan setiap nafasnya. Meski sesuatu atau hal –
hal pasti itu merasukinya. Dan ia berhasil melewatinya kala itu. Menang sesuai
harapannya. Meski diawal ia menapaki sedikit lebih ringan, tiada lain
menghindar dari tekad buta. Seraya ular terus maju untuk dipukul sampai mati.
Ia hindari yang semacam itu. Tiada lain, tanpa tujuan apa – apa selain kebaikan
kita.
Dikala
hati ini mulai bimbang. Melangkah entah kemana. Melangkah kemana ia bisa
terhibur. Meski sekejap begitu berharga. Terus, tiada henti ia lakukan. Sampai
ia benar – benar menemukan arti kebaikan. Bagi dirinya, lebih – lebih orang
lain. Merekalah yang selayaknya merasakan kebahagian ‘kebaikan hidup’.
Sementara dirinya hanya mengadu, berdoa pada Ilahi Rabbi. Semoga kebaikan yang
mereka rasakan tak lepas dari diri ini. Berada diantara mereka. Merasakan
‘kebahagian’ bersama mereka pula. Dan benar. Kini kebaikan itu berada jauh dari
jiwa, orang lainlah yang justru memilikinya. Seraya tak mau lagi dekat bersama
diri ini. Ia pun menolak, sangat keras bahwa ia tak pernah bersama orang lain,
hanya bersamanya. Lalu apa maksud dari semua itu, dulu, di awal mula, ia
mengukir sedikit keindahan, dan kebaikan bagi orang lain, bagi jiwa, raga dan
diri ini. Ataukah memang salah paham, karena bahasa lisan, bahasa yang
memberikan berbagai ma’na, tidak halnya bahasa tulisan yang memberikan satu
ma’na dan keyakinan dalam melangkah. Perlu diketahui, seandainya kebaikan itu telah
benar – benar ia dapatkan, tak sedikitpun ragu raga ini untuk menikmati
kebaikan lain yang lebih baik. Meski tak bersamanya, karena kebaikan ia adalah
kebaikan kita semua. Tak mau raga ini menjadi belenggu bagi mereka terutama
bagi dirinya. Karena hati, raga dan jiwa ini sayang pada dirinya. Sayang kalau
justru dirinya tak mendapatkan apa yang ia cari. Namun kalau semua itu, kesengajaan
untuk menyakiti diri ini jiwa ini, dan hati ini, tiada apa – apa, mungkin
inilah jalan, Tuhan yang menentukan. Karena memang masa lalu masih meninggalkan
bercak saat – saat ini dan insyaallah masa depan. tapi sekali lagi, tak ada
satu waktupun yang luput dari harapan dan do’a agar ia menerima segalanya.
Kebaikan yang semestinya saat awal mula ia harap – harapkan untuk ia dapat. Karena
setiap kali, setiap waktu, angan ini berharap mendapatkannya untuk selama -
lamanya. Tak ada dusta diantara kita. Semuanya akan mengalir indah bersama –
sama, sampai nanti tepat waktunya. Dan tak akan ada hati yang akan tersakiti
atau bahkan saling menyakiti.
Kelengahan
mendatangkan satu kabut bahasa, menyesak di dada sehingga rasa harapan, rasa
bahagia tidak bisa dirasakan seutuhnya. mbok
yo uteke di.enggo, ojo perasaanne wae sing di.enggo. satu bahasa terngiang
nyaring di alam fikiran. Namun hati ini terus bergejolak tak menghirau seberapa
keras lentingan itu terdengar. Hati, rasa, dan perasaan ini tak pernah
membedakan, apapun itu. Karena cinta adalah cinta. Love is cinta. Dan yang
membedakan hanyalah sebuah ‘ketulusan cinta’ dan ‘cinta yang tidak tulus’. Dan
selama ini tak ada perasaan yang lain, selain hanyalah satu rasa, satu cinta yang
saat ini hati rasakan. Tulus mencintaimu. Tak ada sedikitpun rasa dalam hati
ini untuk melepaskan, lebih – lebih mengikhlaskan. Jiwa, raga lebih – lebih
hati ini sungguh berat melepaskanmu. Dhahir Bathin tak ada yang sama – sama
rela, sampai kapanpun itu. Karena
setelah sekian lama mengenal satu sama lain, hati ini, jiwa ini, rasa ini,
perasaan ini benar – benar menemukan kebaikan dalam dirinya. Menemukan kebaikan
dalam dirinya. Kebaikan dalam dirinya. Hanya dalam dirinya. Lalu apakah hati
ini masih akan menghindarinya atau bahkan merelakan dan mengikhlaskannya ?,
padahal itulah yang menjadi tujuan dalam kehidupan. Masihkah mungkin kita akan
mencari kebaikan pada yang lain, sedangkan kebaikan yang nampak sudah sangat
jelas berada di depan mata. Tak ingin rasanya hati ini berbalik pada kebaikan
yang lain, meski itu lebih baik. Selama kebaikan itu memberikan ruang untuk
juga dapat memberikan kebaikan pada orang lain dan kita semua. Bukan hanya saat
ini saja, tapi suatu hari nanti, hari esok dan hari – hari yang lain bahkan
selamanya……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar