A. Pendahuluan
Perbedaan – perbedaan dalam menafsiri ayat – ayat al-Qur’an memang rentan
terjadi, sejak al-Qur’an diwahyukan. Pewahyuan al-Qur’an diturunkan dalam
konteks global. Di dalamnya terkandung ajaran yang dibutuhkan manusia untuk
mengatur totalitas kehidupan manusia. Keberadaan al-Quran sebagai petunjuk abadi
yang menyeluruh (universal) dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam
realitanya al-Qur’an senantiasa memperhatikan kondisi sosial yang berkembang
dalam masyarakat.
Adalah sangat
logis bila dalam suatu masalah al-Qur’an yang berbicara dalam konteks global
kemudian dipahami dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing – masing. Termasuk
pemahaman yang ditorehkan oleh Ibnu Mas’ud yang kemudian diabadikan dalam
karangan kitab oleh Madzhab Sunni dan hukum yang dicetuskan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang disarikan dari riwayat Ibnu Abbas. Ibnu Mas’ud dan Ibnu
Abbas, Keduanya mempuanyai penafsiran yang berbeda – beda sesuai dengan
pemahaman dan korenah yang dipeganginya. Karenanya pemahaman atasnya haruslah
sejalan dengan prinsip – prinsip dan metode – metode penetapan hukum yang
sekiranya diterima dimasyarakat.
B. Hakikat Ma’na
Makna hakiki lafadz “walad” dalam Bahasa Arab yang sah secara Syar’i
artinya adalah anak. Khusus untuk anak laki – laki menggunakan lafadz “ibn” dan
untuk perempuan menggunakan lafadz “bint”. Apabila lafadz “walad”
digunakan dengan pengertian anak, maka yang dimaksud adalah anak laki –
laki dan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan tidak terdapatnya kata “walad”
dalam bentuk muannast. Demikianlah konsep “walad” yang
dipahami secara hakikat syar’i dalam isyarah al-Qur’an.
Dalam memahami kata “walad” yang disebut dua kali
dalam surah an Nisa’ 176, nampaknya ulama’ tidak sepakat, sehingga berpengaruh
terhadap konsep kalalah yang berkaitan erat dengan makna “walad”. Dalam
ayat tersebut kalalah adalah pewaris yang tidak meninggalkan “walad”
yang berarti memberi kesempatan pada “saudaranya” berhak menerima warist.
Dengan demikian, keberadaan “walad” disini menyebabkan “saudara” mahjub
dalam hal warisan.
Perbedaan inilah yang mendasari timbulnya pertanyaan.
Mengapa ditempat lain dalam al Qur’an para ulama’ sepakat dalam memahami kata “walad”,
sedangkan dalam ayat 176 surah an Nisa’ mereka berbeda pendapat.
C. Perspektif – Perspektif Hukum
Pendapat Jumhur Ulama’ (Madzhab Sunni) menyebutkan bahwa “walad” disini
berarti “anak laki – laki” saja. Dengan demikian, “anak perempuan” tidaklah
menghijab kesempatan saudara – saudaranya untuk mendapatkan warisan. Karena
keberadaannya tidak mempengaruhi arti kalalah. Hal ini diakibatkan
karena dua hal. Pertama, memahami secara urfi (adat / kebiaasaan) yang
berarti laki – laki bukanlah anak perempuan, meski dalam hakikat syar’i bermakna
anak laki – laki dan anak perempuan. Artinya mereka memahami kata “walad” sesuai
dengan arti kalalah yang telah dikenal selama ini. Kedua, mereka
membatasi makna “walad” dalam ayat ini dengan anak laki – laki saja berdasarkan
hadist kalalah riwayat Ibnu Mas’ud yang menyimpulkan demikian. Yaitu
“anak perempuan” tidak masuk dalam bingkai lafadz “walad” pada ayat kalalah
surah an Nisa’ 176.
Hal itu
berbeda dengan konsep yang tercantum dalam KHI, bahwa memahami lafad “walad”
itu sendiri secara konsisten dan sesuai dengan hakikat syar’i. Konsep KHI
merupakan implementasi dari pemahaman Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa walad
dalam an Nisa’ 176 tidak membeda – bedakan antara anak laki – laki dan anak
perempuan. Dengan demikian, pemahaman ini sesuai dengan petunjuk ayat al-Qur’an
itu sendiri. Tidak memahami konsep kalalah dari pengertian luas dalam
al-Qur’an. Berlaku sebagaimana makna lafad walad yang terkandung dalam
ayat lain. Dengan arti bahwa kalalah adalah pewaris yang tidak
meninggalkan walad; baik laki – laki maupun perempuan. Berdasarkan
konsep ini anak perempuan sama dengan anak laki – laki di dalam menghijabnya walad
terhadap saudara di dalam hak warisan.
D. Kesimpulan
Dalil dan hujjah yang ditawarkan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sama-sama
mempuanyai kekuatan dan tidak saling melemahkan. Namun meski demikian,
sebagaimana dalam kaidah fiqih; al Ijtihadu la Yungqodu bil Ijtihad. Sehingga
dalam kelanjutannya seseorang tidak diperkenankan untuk menyalahkan dan
beranggapan bahwa pilihannya adalah yang paling benar. Sehingga secara garis
besar dari masing-masing hujjah mereka mempunyai konsekuensi hukum yang
berbeda.
Jika pendapat pertama
mengartikan bahwa yang dimaksud ‘walad’ adalah tertentu kepada ‘anak
laki-laki’ maka dengan sendirinya keberadaan ‘anak perempuan’ tidak bisa menghijab
‘saudara’ untuk mendapatkan waris. Sedangkan menurut pendapat kedua mengartikan
ketidakmungkinan ‘saudara’ untuk mendapatkan warist apabila pewaris
meninggalkan ‘walad’ yang dimaksud adalah anak laki-laki dan anak
perempuan.