Rabu, 19 Februari 2014

Perspektif Madzhab Sunni dan Konsep KHI Tentang Makna “Walad” dalam Al - Qur’an Surat an Nisa’ 176

A.    Pendahuluan
       Perbedaan – perbedaan dalam menafsiri ayat – ayat al-Qur’an memang rentan terjadi, sejak al-Qur’an diwahyukan. Pewahyuan al-Qur’an diturunkan dalam konteks global. Di dalamnya terkandung ajaran yang dibutuhkan manusia untuk mengatur totalitas kehidupan manusia. Keberadaan al-Quran sebagai petunjuk abadi yang menyeluruh (universal) dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam realitanya al-Qur’an senantiasa memperhatikan kondisi sosial yang berkembang dalam masyarakat.
       Adalah sangat logis bila dalam suatu masalah al-Qur’an yang berbicara dalam konteks global kemudian dipahami dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing – masing. Termasuk pemahaman yang ditorehkan oleh Ibnu Mas’ud yang kemudian diabadikan dalam karangan kitab oleh Madzhab Sunni dan hukum yang dicetuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disarikan dari riwayat Ibnu Abbas. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, Keduanya mempuanyai penafsiran yang berbeda – beda sesuai dengan pemahaman dan korenah yang dipeganginya. Karenanya pemahaman atasnya haruslah sejalan dengan prinsip – prinsip dan metode – metode penetapan hukum yang sekiranya diterima dimasyarakat.

B.     Hakikat Ma’na
       Makna hakiki lafadz “walad” dalam Bahasa Arab yang sah secara Syar’i artinya adalah anak. Khusus untuk anak laki – laki menggunakan lafadz “ibn” dan untuk perempuan menggunakan lafadz “bint”. Apabila lafadz “walad” digunakan dengan pengertian anak, maka yang dimaksud adalah anak laki – laki dan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan tidak terdapatnya kata “walad” dalam bentuk muannast. Demikianlah konsep “walad” yang dipahami secara hakikat syar’i dalam isyarah al-Qur’an.
        Dalam memahami kata “walad” yang disebut dua kali dalam surah an Nisa’ 176, nampaknya ulama’ tidak sepakat, sehingga berpengaruh terhadap konsep kalalah yang berkaitan erat dengan makna “walad”. Dalam ayat tersebut kalalah adalah pewaris yang tidak meninggalkan “walad” yang berarti memberi kesempatan pada “saudaranya” berhak menerima warist. Dengan demikian, keberadaan “walad” disini menyebabkan “saudara” mahjub dalam hal warisan.
Perbedaan inilah yang mendasari timbulnya pertanyaan. Mengapa ditempat lain dalam al Qur’an para ulama’ sepakat dalam memahami kata “walad”, sedangkan dalam ayat 176 surah an Nisa’ mereka berbeda pendapat.

C.     Perspektif – Perspektif Hukum
          Pendapat Jumhur Ulama’ (Madzhab Sunni) menyebutkan bahwa “walad” disini berarti “anak laki – laki” saja. Dengan demikian, “anak perempuan” tidaklah menghijab kesempatan saudara – saudaranya untuk mendapatkan warisan. Karena keberadaannya tidak mempengaruhi arti kalalah. Hal ini diakibatkan karena dua hal. Pertama, memahami secara urfi (adat / kebiaasaan) yang berarti laki – laki bukanlah anak perempuan, meski dalam hakikat syar’i bermakna anak laki – laki dan anak perempuan. Artinya mereka memahami kata “walad” sesuai dengan arti kalalah yang telah dikenal selama ini. Kedua, mereka membatasi makna “walad” dalam ayat ini dengan anak laki – laki saja berdasarkan hadist kalalah riwayat Ibnu Mas’ud yang menyimpulkan demikian. Yaitu “anak perempuan” tidak masuk dalam bingkai lafadz “walad” pada ayat kalalah surah an Nisa’ 176.
Hal itu berbeda dengan konsep yang tercantum dalam KHI, bahwa memahami lafad “walad” itu sendiri secara konsisten dan sesuai dengan hakikat syar’i. Konsep KHI merupakan implementasi dari pemahaman Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa walad dalam an Nisa’ 176 tidak membeda – bedakan antara anak laki – laki dan anak perempuan. Dengan demikian, pemahaman ini sesuai dengan petunjuk ayat al-Qur’an itu sendiri. Tidak memahami konsep kalalah dari pengertian luas dalam al-Qur’an. Berlaku sebagaimana makna lafad walad yang terkandung dalam ayat lain. Dengan arti bahwa kalalah adalah pewaris yang tidak meninggalkan walad; baik laki – laki maupun perempuan. Berdasarkan konsep ini anak perempuan sama dengan anak laki – laki di dalam menghijabnya walad terhadap saudara di dalam hak warisan.

D.    Kesimpulan
       Dalil dan hujjah yang ditawarkan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sama-sama mempuanyai kekuatan dan tidak saling melemahkan. Namun meski demikian, sebagaimana dalam kaidah fiqih; al Ijtihadu la Yungqodu bil Ijtihad. Sehingga dalam kelanjutannya seseorang tidak diperkenankan untuk menyalahkan dan beranggapan bahwa pilihannya adalah yang paling benar. Sehingga secara garis besar dari masing-masing hujjah mereka mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.
         Jika pendapat pertama mengartikan bahwa yang dimaksud ‘walad’ adalah tertentu kepada ‘anak laki-laki’ maka dengan sendirinya keberadaan ‘anak perempuan’ tidak bisa menghijab ‘saudara’ untuk mendapatkan waris. Sedangkan menurut pendapat kedua mengartikan ketidakmungkinan ‘saudara’ untuk mendapatkan warist apabila pewaris meninggalkan ‘walad’ yang dimaksud adalah anak laki-laki dan anak perempuan.

Jumat, 14 Februari 2014

Bukti Cinta Kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala


Jika Allah menghendaki kebaikan Ia akan membalas kesalahan dan dosa-dosa hambanya di dunia, sedangkan jika tidak, Allah akan mengumpulkannya kelak di Akhirat. al Hadist.

Tidak semua yang diberikan Allah SWT pada kita adalah nikmat. Terkadang Allah juga memberikan musibah kepada kita. Tapi bukan berarti kita tidak mensyukuri atas pemberian Allah. Positif thingking lah atas semua pemberian Allah SWT akan ada hikmahnya. Yakinlah akan hal itu.
Sungguh unik perkara orang mukmin itu. Semua perkaranya adalah baik. Jika mendapat kebaikan (nikmat) ia bersyukur. Maka itu menjadi sebuah kebaikan baginya. Dan jika ditimpa musibah ia bersabar. Maka itu juga menjadi sebuah kebaikan baginya. Al Hadist.
Nikmat memang sudah sering kali Allah berikan dan selalu kita syukuri.  Sebagai ungkapan terimakasih dan etika kita kepada Allah SWT. Dan agar kita juga merasa menghargai terhadap pemberian Allah SWT meski Allah sama sekali tidak pernah mengharap itu semua. Allah qiyamuhu bi nafsihi, dan tidak mungkin Allah bersifatan ihtiyajuhu bi nafsihi. Tapi patutlah berkewajiban bagi kita untuk mensyukuri atas segala nikmat pemberian Allah SWT. Bukan hanya sebatas ungkapan kata-kata (bil lisan) tetapi ungkapan jawarih (bil hal) juga harus memuji dan mensyukuri atas nikmat pemberian Allah. Bersyukur yang tepat adalah menggunakan semua nikmat yang diberikan oleh Allah dijalan yang di ridhai-Nya (hanya untuk beribadah kepada-Nya).
Berbeda dengan nikmat adalah musibah dari Allah SWT. Inilah kadangkala kebanyakan dari kita tidak mengerti dengan rencana Allah SWT. Musibah sakit bukanlah pemberian Allah yang mengartikan benar-benar sebuah musibah. Atau justru itu merupakan tanda cinta kasih Allah kepada kita, hambanya.
Sesungguhnya Allah bila menyukai seorang di antara kalian, maka Allah akan menurunkan cobaan kepadanya. Al Hadist.
Tetapi banyak hal yang diselipkan oleh Allah dari rasa sakit pada diri kita.
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah SWT. mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. At Thalak.1
Para Nabi, ‘orang-orang terbaik setelah mereka’ juga diberi cobaan dan musibah untuk meningkatkan derajat mereka, hal ini merupakan bagian dari tanda cinta kasih Allah pada mereka, hamba-hamba pilihan.
Seseorang yang setiap hari beraktifitas dan melakukan ibadah sosial sehingga ia tak sempat untuk berlama-lama istirahat karena amanah dan tanggungjawabnya. Disitulah rencana Allah memberikan hikmah dibalik itu semua. Memberi rasa sakit agar sedikit lebih banyak istirahat, untuk pikirannya, jiwa dan tubuhnya. Kesemuanya butuh sebuah balances. Termasuk juga untuk menguatkan hati menghancurkan rasa ujub, mengubur rasa sombong, menarik empati sesama, sebuah peringatan dini dan menjaga hati untuk bersabar. Satu hal lagi, selain menyimpan makna sehat adalah nikmat terbesar kedua setelah iman dan taqwa, Musibah sakit akan memotivasi seseorang untuk selalu berbuat lebih baik. Memperbaiki kekurangan dan kesalahan-kesalahan sebelumnya. Dan sangat luar biasa, jikalah yang kebanyakan dari kita beranggapan musibah sakit diartikan hanya sebagai musibah/penderitaan semata, akan tetapi Allah menjadikan sebagai penebus dosa atas kesalahan dan dosa-dosa yang telah kita lakukan. Bukankah itu sebuah fadhal dan nikmat dari Allah ?. tidak sedikit qorinah yang menunjukkan sebagai ujian untuk mengangkat derajat seseorang.
Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal shaleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar. Hud.11
Sebuah pahala yang dijanjikan oleh Allah bagi orang yang mampu melewati masa-masa yang menjadi pilihan baginya. Dan Allah tidak pernah “menutup mata” atas semua kejadian / keruwetan yang terjadi di dunia ini. Allah SWT sudah mengatur segalanya, termasuk kadar kemampuan seseorang mendapatkan ujian, cobaan, amanah, tanggungjawab, bahkan nikmat dan musibah dari Allah SWT.
Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Al Baqarah.287
Dan saya sadar bahwa rasa yang saat ini saya rasakan adalah sanksi, balasan atau akibat dari kesalahan dan dosa yang selama ini diperbuat. Bukanlah suatu kebencian dari Tuhan untuk saya, hambamu ini, Allah. Takkan pernah ada kedhaliman pada dzat Allah SWT.
Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. Yunus.44
Saya sadar berbagai dosa yang dilakukan telah menyakiti orang-orang disekitar. Orang-orang terdekat sekalipun. Dan tak kan pernah ada keluhan sedikitpun yang terhembus akibat dari cela yang telah diperbuat. Bersabar dan menerima atas rasa yang saat ini saya rasakan adalah lebih baik. Mungkin dengan seperti sekarang inilah Allah memberikan maghfirah Nya dan melebur segala dosa dan kesalahan-kesalahan menjadi pahala yang dijanjikannya. Dan setelah semua ini berlalu, ikrar akan menjadi pilihan untuk menjadi lebih baik. Memperbaiki segala kekurangan dan kesalahan menjadi kebaikan yang merajut fadhal dan cinta kasih dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.