Rabu, 22 Mei 2013

Kebaikan Dalam Dirinya

Jikala sudah menemukannya tak ada lain yang lebih berarti. Setiap kehidupan yang dijalani, “kebaikanlah” menjadi tujuannya. Siapapun dia, mereka, tak akan luput keinginan hasrat untuk mengitarinya. Setiap kali, setiap waktu, setiap kali ia bersama waktu, selalu ingin menemukannya. Meski miliu terkadang tak bersahabat dan bersama kita. Rintangan, hal – hal yang menghambat juga akan selalu ada, adanya menjadi sebuah kepastian. Orang picik sekalipun bohong bila ia tak menginginkannya. Bahkan sehina – hinanya mereka kebaikan menjadi tujuan terakhirnya. Apa yang kita semua harap kalau ‘saat ini’ tak ada kebaikan yang kita dapat. Lalu bagaimana dengan kita?, kebaikan bersama kita. Makin sejadi apapun ia ingin selalu mendapatkan kebaikan, buat saat ini, esok, dan slama abadi di sana. Setidaknya meski kebaikan ia akan dapatkan. Namun kemudharatan, kerusakan selalu menyertainya. Maka ia menolaknya diutamakan. Karena dengan langkah demikian, senyatanya ia mendatangkan kebaikan lebih besar. Menjadi tangan kanan dari dua jenis amar sekaligus. Itulah suatu ‘kebaikan’ yang ia tinggalkan untuk mendapatkan suatu ‘kebaikan yang lebih baik’.
Dan saat inilah waktu yang ia dapat. Ketika hati ini benar – benar benar menemukannya. Ia terus, terus tiada henti untuk menemukan dan mendapatkannya. Tanpa lelah, resah, dengan keyakinan setiap nafasnya. Meski sesuatu atau hal – hal pasti itu merasukinya. Dan ia berhasil melewatinya kala itu. Menang sesuai harapannya. Meski diawal ia menapaki sedikit lebih ringan, tiada lain menghindar dari tekad buta. Seraya ular terus maju untuk dipukul sampai mati. Ia hindari yang semacam itu. Tiada lain, tanpa tujuan apa – apa selain kebaikan kita.
Dikala hati ini mulai bimbang. Melangkah entah kemana. Melangkah kemana ia bisa terhibur. Meski sekejap begitu berharga. Terus, tiada henti ia lakukan. Sampai ia benar – benar menemukan arti kebaikan. Bagi dirinya, lebih – lebih orang lain. Merekalah yang selayaknya merasakan kebahagian ‘kebaikan hidup’. Sementara dirinya hanya mengadu, berdoa pada Ilahi Rabbi. Semoga kebaikan yang mereka rasakan tak lepas dari diri ini. Berada diantara mereka. Merasakan ‘kebahagian’ bersama mereka pula. Dan benar. Kini kebaikan itu berada jauh dari jiwa, orang lainlah yang justru memilikinya. Seraya tak mau lagi dekat bersama diri ini. Ia pun menolak, sangat keras bahwa ia tak pernah bersama orang lain, hanya bersamanya. Lalu apa maksud dari semua itu, dulu, di awal mula, ia mengukir sedikit keindahan, dan kebaikan bagi orang lain, bagi jiwa, raga dan diri ini. Ataukah memang salah paham, karena bahasa lisan, bahasa yang memberikan berbagai ma’na, tidak halnya bahasa tulisan yang memberikan satu ma’na dan keyakinan dalam melangkah. Perlu diketahui, seandainya kebaikan itu telah benar – benar ia dapatkan, tak sedikitpun ragu raga ini untuk menikmati kebaikan lain yang lebih baik. Meski tak bersamanya, karena kebaikan ia adalah kebaikan kita semua. Tak mau raga ini menjadi belenggu bagi mereka terutama bagi dirinya. Karena hati, raga dan jiwa ini sayang pada dirinya. Sayang kalau justru dirinya tak mendapatkan apa yang ia cari. Namun kalau semua itu, kesengajaan untuk menyakiti diri ini jiwa ini, dan hati ini, tiada apa – apa, mungkin inilah jalan, Tuhan yang menentukan. Karena memang masa lalu masih meninggalkan bercak saat – saat ini dan insyaallah masa depan. tapi sekali lagi, tak ada satu waktupun yang luput dari harapan dan do’a agar ia menerima segalanya. Kebaikan yang semestinya saat awal mula ia harap – harapkan untuk ia dapat. Karena setiap kali, setiap waktu, angan ini berharap mendapatkannya untuk selama - lamanya. Tak ada dusta diantara kita. Semuanya akan mengalir indah bersama – sama, sampai nanti tepat waktunya. Dan tak akan ada hati yang akan tersakiti atau bahkan saling menyakiti.

Kelengahan mendatangkan satu kabut bahasa, menyesak di dada sehingga rasa harapan, rasa bahagia tidak bisa dirasakan seutuhnya. mbok yo uteke di.enggo, ojo perasaanne wae sing di.enggo. satu bahasa terngiang nyaring di alam fikiran. Namun hati ini terus bergejolak tak menghirau seberapa keras lentingan itu terdengar. Hati, rasa, dan perasaan ini tak pernah membedakan, apapun itu. Karena cinta adalah cinta. Love is cinta. Dan yang membedakan hanyalah sebuah ‘ketulusan cinta’ dan ‘cinta yang tidak tulus’. Dan selama ini tak ada perasaan yang lain, selain hanyalah satu rasa, satu cinta yang saat ini hati rasakan. Tulus mencintaimu. Tak ada sedikitpun rasa dalam hati ini untuk melepaskan, lebih – lebih mengikhlaskan. Jiwa, raga lebih – lebih hati ini sungguh berat melepaskanmu. Dhahir Bathin tak ada yang sama – sama rela, sampai  kapanpun itu. Karena setelah sekian lama mengenal satu sama lain, hati ini, jiwa ini, rasa ini, perasaan ini benar – benar menemukan kebaikan dalam dirinya. Menemukan kebaikan dalam dirinya. Kebaikan dalam dirinya. Hanya dalam dirinya. Lalu apakah hati ini masih akan menghindarinya atau bahkan merelakan dan mengikhlaskannya ?, padahal itulah yang menjadi tujuan dalam kehidupan. Masihkah mungkin kita akan mencari kebaikan pada yang lain, sedangkan kebaikan yang nampak sudah sangat jelas berada di depan mata. Tak ingin rasanya hati ini berbalik pada kebaikan yang lain, meski itu lebih baik. Selama kebaikan itu memberikan ruang untuk juga dapat memberikan kebaikan pada orang lain dan kita semua. Bukan hanya saat ini saja, tapi suatu hari nanti, hari esok dan hari – hari yang lain bahkan selamanya……

Senin, 20 Mei 2013

Hakikat Do’a

Tak ada satu hal pun yang tak ada arti dalam hidup. Meski itu sudah tenggelam saat masa – masa yang  lalu. Besar kecilnya goresan itu tampak terasa. Kenapa hari itu pernah terjadi. Meski saat kala itu pernah di harapkan tapi saat ini tidak. Bahkan goresan itu sudah lama hilang dengan ribuan cara pengusahaannya. Setelah lama – lama menghilang bekas goresan itu nampak, seakan baru kemarin luka itu ada. Tak dapat lagi goresan itu untuk bisa tertutupi sampai tak sedikit orang mengetahuinya. Lalu, kenapa goresan itu muncul ?, seakan ada yang mengharapkannya. Padahal tidak sama sekali. Penyesalan yang tidak segan – segan lagi saat ini dirasakan. Tapi bukan itulah yang menjadikan hidup ini tampak sebagai awal penyesalan, yang menjadikan diri ini untuk tidak mengukir sejarah dalam hidup. Tapi jadikanlah hidup sebagai pijakan kebaikan yang dapat kita petik suatu saat nanti.

Kebaikan yang pernah diabadikan, tampak sangat baik untuk masa depan. Ketika hati ini terus menjadikan raga sebagai pacuan. Ribuan pulau kebaikan sudah pernah direngkuh sampai masa – masa ini. Sampai – sampai mendapati satu pulau kebaikan yang selama ini dicari melalui doa dan upaya. Tapi tak dinyana, satu pulau saat itu tidak dapat disinggahi karena ada beberapa pulau lainnya yang membentang seakan tak mungkin untuk melewatinya`9.